Di zaman dahulu kala, ada sebuah desa kecil yang indah dan sederhana di suatu pegunungan, namanya desa Tian Hui.
Disana ada satu keluarga yang sangat kaya, bermarga Yang. Keluarga Yang turun temurun adalah keluarga yang sangat baik hati, mereka sangat suka membantu orang lain.
Jika bertemu dengan Biksu ataupun Pendeta Tao, maka Tuan Yang pasti akan memberikan nasi dan lauk pauk yang banyak dengan mangkuk yang besar untuk dimakan oleh mereka.
Kadang kala, para tetangga juga pernah datang untuk meminjam bahan makanan pada Tuan Yang. Namun pada saat mereka hendak mengembalikan bahan makanan yang dulu dipinjam kepada Tuan Yang, beliau tidak menerimanya karena para tetangganya miskin.
Tetangga yang meminjam bahan makanan dari Tuan Yang, merasa telah sangat dibantu namun mana boleh bahan makanan yang telah dipinjam dari orang lain tidak dikembalikan? Mereka merasa harus mengembalikannya.
Oleh karena itu Tuan Yang akhirnya mengambil sebuah labu besar yang ada di rumahnya dan kemudian dibelah menjadi dua bagian (sehingga berbentuk seperti gayung, orang zaman Tiongkok kuno membuat gayung dari buah labu yang telah dikeringkan lalu dibelah dua, red), satu bagian besar, sedangkan belahan lainnya kecil.
Ketika tetangga datang untuk meminjam bahan makanan lagi, Tuan Yang menggunakan belahan gayung yang besar itu, setangkup demi setangkup besar gayung yang berisi bahan makanan itu dipinjamkannya kepada tetangga.
Lalu pada saat tetangga datang lagi untuk mengembalikan bahan makanan, Tuan Yang menggunakan belahan gayung yang kecil, hanya menerima kembali dalam jumlah sedikit. Lama kelamaan, para penduduk menyebutnya dengan nama si Dua Gayung.
Pada saat si Dua Gayung berusia 80 tahun di suatu musim gugur ketika itu, biji gandum di ladangnya telah matang, si Dua Gayung hendak melihat-lihat ladang gandumnya.
Oleh karena itu, ia seorang diri dengan melangkah tertatih-tatih dibantu oleh tongkatnya datang ke ladang. Tiba-tiba, awan hitam yang pekat menggulung menyelimuti ladangnya, halilintar menyambar dan guntur menggelegar.
Si Dua Gayung yang melihat keadaan ini berpikir, "Saya sudah tua, tidak mampu melarikan diri lagi, biarlah saya mati disini saja!"
Waktu itu, si Dua Gayung mendengar sebuah suara yang luar biasa besar di ladangnya, "Raja Guntur, Ratu Halilintar dan Naga Air, kalian dengarkan baik-baik, sekarang si Dua Gayung sedang berada di ladang gandumnya, kalian sama sekali tidak boleh meneteskan air barang setitik pun di atas gandumnya!"
Setelah lewat lama sekali, hujan dan halilintar pun berhenti sudah, si Dua Gayung bangun dari ladang gandumnya dan melihat sekeliling, di ladang gandum tempat ia terbaring tidak ada setetes air pun, sementara gandum milik orang lain semuanya telah roboh terendam air lumpur.
Si Dua Gayung pulang ke rumahnya dan menceritakan kejadian tersebut kepada anaknya, lalu membawa serta semua anak-cucunya untuk bersujud dan memberi hormat, berterima kasih pada Sang Maha Pencipta yang telah memberikan berkah padanya.
Lalu mengapa sambaran halilintar dan guntur yang menggelegar tidak melukai Tuan Yang? Karena dia seumur hidupnya telah banyak melakukan kebaikan kepada orang lain, dia telah memikirkan orang lain dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Di zaman Tiongkok kuno, semua orang memahami prinsip bahwa kebaikan dan kejahatan pasti ada balasannya, percaya bahwa setiap hal yang dilakukan oleh setiap orang, tidak peduli hal besar atau pun kecil, semuanya dilihat dengan jelas oleh Sang Maha Pencipta! Oleh karena itu, semua orang berusaha untuk berbuat baik, dan tidak melakukan kejahatan.
0 komentar:
Posting Komentar